Mengenal Skizofrenia Lebih Dekat

Pengertian

Skizofrenia adalah gangguan mental yang terjadi dalam jangka waktu panjang, gangguan tersebut menyebabkan penderita mengalami halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku. Penderita skizofrenia pada umumnya mengalami kesulitan untuk membedakan antara kenyataan dengan pikiran yang ada.

Gejala

Skizofrenia merupakan gangguan mental yang dapat menyerang mulai dari anak-anak sampai lansia. Gejala awal skizofrenia pada umumnya muncul di masa remaja. Untuk pria, gejala awal skizofrenia ini biasanya muncul di usia 15–30 tahun. Sementara itu, pada wanita bisa muncul pada usia 25–30 tahun. Adapun gejala awal yang perlu diwaspadai yaitu :

  • Mudah menjadi marah dan depresi.
  • Cenderung mengasingkan diri dari lingkungan sekitar orang lain.
  • Terjadinya perubahan pola tidur.
  • Kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah.
  • Kurang konsentrasi dan motivasi.

Para ahli membagi gejala skizofrenia menjadi dua kategori, yaitu positif dan negatif.

  1. Gejala Positif

Gejala positif mengacu pada perilaku yang tidak tampak pada individu yang sehat, meliputi :

  • Halusinasi, yaitu perasaan mengalami sesuatu yang terasa nyata, namun sebenarnya perasaan itu hanya ada di pikiran penderitanya.
  • Delusi atau waham, yaitu meyakini sesuatu yang bertolak belakang dengan kenyataan. Gejalanya beragam, seperti merasa diawasi, diikuti. Sebagian besar penderita skizofrenia mengalami gejala ini dan penderita cenderung memiliki pikiran paranoid.
  • Kacau dalam berpikir dan berbicara. Gejala ini dapat diketahui dari kesulitan penderita dalam berbicara. Penderita skizofrenia sulit berkonsentrasi serta berkomunikasi juga membingungkan, sehingga sulit dimengerti oleh lawan bicaranya.
  • Perilaku kacau. Perilaku penderita skizofrenia sulit diprediksi. Secara tidak terduga, penderita dapat tiba-tiba berteriak dan marah tanpa alasan.
  1. Gejala Negatif

Gejala negatif mengacu pada hilangnya minat yang sebelumnya dimiliki oleh penderita. Gejala negatif dapat berlangsung beberapa tahun sebelum penderita mengalami gejala awal. Gejala negatif umumnya muncul bertahap dan memburuk seiring waktu, di antaranya adalah:

  • Respons emosional yang ganjil, seperti ekspresi wajah dan nada bicara yang tidak berubah (monoton).
  • Sulit untuk merasa senang atau puas.
  • Enggan bersosialisasi dan lebih memilih berdiam di rumah.
  • Kehilangan minat dan motivasi pada berbagai aktivitas, seperti menjalin hubungan atau berhubungan seks.
  • Pola tidur yang berubah.
  • Tidak nyaman berada dekat orang lain, dan tidak mau memulai percakapan.
  • Tidak peduli pada penampilan dan kebersihan diri.

Penyebab

Penyebab gangguan skizofrenia sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun diketahui terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab skizofrenia, yaitu :

  • Faktor genetik

Seseorang dari keluarga penderita skizofrenia, mempuyai risiko 10% lebih besar mengalami kondisi yang sama. Risiko akan menjadi 40% lebih besar bila kedua orang tua sama-sama menderita skizofrenia. Pada orang yang memiliki saudara kembar dengan skizofrenia, risiko meningkat hingga 50%.

  • Faktor kimia otak

Penelitian menunjukkan bahwa ketidakseimbangan kadar dopamin dan serotonin berisiko menimbulkan skizofrenia. Dopamin dan serotonin adalah bagian dari neurotransmitter, zat kimia yang berfungsi mengirim sinyal antar sel-sel otak.

  • Komplikasi kehamilan dan persalinan

Sejumlah kondisi yang terjadi pada masa kehamilan diduga berisiko menyebabkan skizofrenia pada anak yang dilahirkan. Di antaranya adalah kekurangan nutrisi, paparan racun dan virus, preeklamsia, diabetes, serta perdarahan dalam masa kehamilan.

Komplikasi saat persalinan, juga berisiko menyebabkan skizofrenia pada anak. Misalnya kekurangan oksigen saat dilahirkan (asfiksia), berat badan lahir rendah, dan lahir prematur.

Beberapa faktor risiko lainnya adalah:

  • Peningkatan sistem kekebalan tubuh akibat penyakit autoimun dan peradangan.
  • Cedera otak akibat jatuh atau kecelakaan, termasuk yang terjadi di masa kecil.
  • Infeksi virus, terutama virus influenza dan polio.

Selain faktor risiko, diketahui juga ada factor pemicu. Stress merupakan factor psikologis paling utama yang dapat memicu skizofrenia setelah timbulnya faktor risiko yang telah disebutkan di atas. Penyalahgunaan NAPZA, seperti kokain, ganja, amfetamin, juga dapat memicu skizofrenia pada orang dengan faktor risiko di atas.

Diagnosis

Beberapa kriteria yang digunakan dokter kejiwaan untuk mendiagnosis skizofrenia, yaitu :

  1. Pasien mengalami minimal dua dari sejumlah gejala berikut:
  • Delusi atau waham Halusinasi
  • Bicara kacau
  • Perilaku kacau
  • Gejala negative
  • Setidaknya satu dari dua gejala yang harus ada adalah delusi, halusinasi, dan kacau dalam berbicara.
  1. Gejala di atas harus dialami pasien, setidaknya selama 6 bulan, dan membuat pekerjaan serta kehidupan sosialnya terganggu.
  2. Gejala di atas bukan disebabkan oleh kondisi gangguan mental lain, seperti gangguan bipolar, atau penyalahgunaan NAPZA.

Skizofrenia yang dibiarkan tidak tertangani, dapat memicu sejumlah komplikasi serius, seperti:

  • Berpikir dan mencoba untuk bunuh diri.
  • Depresi.
  • Fobia.
  • Melukai diri sendiri.
  • Penyalahgunaan NAPZA dan kecanduan alkohol.
  • Perilaku agresif dan gaduh gelisah.

Pengobatan

Beberapa metode yang dilakukan untuk pengobatan skizofrenia :

  • Obat-obatan

Untuk menangani halusinasi dan delusi, dokter akan meresepkan obat antipsikotik dalam dosis seminimal mungkin. Antipsikotik bekerja dengan menghambat efek dopamin dan serotonin dalam otak. Penderita skizofrenia harus tetap mengonsumsi antispikotik untuk seumur hidupnya, meskipun gejala yang dialami sudah membaik.

  • Psikoterapi

Psikoterapi untuk penderita skizofrenia bertujuan agar penderita dapat mengendalikan gejala yang dialaminya. Terapi ini akan dikombinasikan dengan pemberian obat-obatan. Beberapa metode psikoterapi, antara lain:

    • Terapi individual. Pada terapi ini, psikiater akan mengajarkan keluarga dan teman pasien bagaimana berinteraksi dengan pasien. Di antara caranya adalah dengan memahami pola pikir dan perilaku pasien.
    • Terapi perilaku kognitif. Terapi ini bertujuan mengubah perilaku dan pola pikir pasien. Kombinasi terapi perilaku kognitif dan obat-obatan, akan membantu pasien memahami pemicu halusinasi dan delusi, serta mengajarkan pasien cara mengatasinya.
    • Terapi remediasi kognitif. Terapi ini mengajarkan pasien cara memahami lingkungan sosial, serta meningkatkan kemampuan pasien dalam memperhatikan atau mengingat sesuatu, dan mengendalikan pola pikirnya.
  • Terapi elektrokonvulsif

Terapi elektrokonvulsif merupakan metode yang untuk meredakan keinginan bunuh diri, mengatasi gejala depresi berat, dan menangani psikosis. Terapi dilakukan 2-3 kali sepekan, selama 2-4 minggu, dan dapat dikombinasikan dengan psikoterapi dan pemberian obat.

Dari berbagai sumber.